Saya lahir pada 10 Agustus 1968. Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua orangtua saya adalah penganut Kristen Protestan yang fanatik. Karena mereka penganut agama yang fanatik, saya pun sejak kecil sudah dididik dengan ajaran Kristen Protestan.
Didikan ajaran agama yang saya peroleh sejak kecil itu, sedikit-banyaknya membuat saya kritis terhadap berbagai hal. Untuk sesuatu yang tidak saya ketahui, saya tak segan bertanya pada ibu. Namun, karena kedua orangtua saya termasuk orang sibuk, saya lebih dekat dengan nenek. Nenek mendidik saya dengan keras, tetapi sangat memanjakan. Termasuk dalam soal agama.
Menjelang usia remaja, ketika saya duduk di kelas dua SMA Taruna Bakti, saya mulai ragu dengan ajaran agama saya sendiri. Saya meragukan dan bingung pada konsep trinitas yang terdiri dari tiga oknum itu. Di samping itu, saya juga sering bertanya dalam hati, mengapa bila kita berdo'a harus melalui Yesus Kristus, tidak langsung ke Tuhan saja?
Untuk memperoleh jawaban itu, saya sering berdialog dengan pendeta. Tapi jawaban para pendeta itu tidak membuat saya paham dan mengerti. Terus terang, saya tidak puas. Karena jawaban mereka, menurut saya, terlalu mengada-ada, tidak sesuai logika.
Di tengah kegelisahan batin itu, saya terus mencari titik terang dengan mempelajari ajaran-ajaran Lao-Tze tentang Taoisme. Tujuan saya mempelajari ajaran ini, dengan harapan bisa menemukan Tuhan. Namun, kembali saya mengalami kegagalan. Di sana saya malah menemukan banyak kelemahan dalam ajaran Cina kuno itu.
Dalam masa pencarian itu, suatu siang menjelang bulan Ramadhan 1985, saya bertandang ke perpustakaan sekolah. Saat menikmati bacaan, tiba-tiba saya tertarik dengan buku yang sedang dipegang oleh seorang teman. Setelah berbasa-basi dengan teman itu, saya baru mengetahui bahwa buku yang dipegangnya itu adalah buku agama Islam yang berjudul, Wawasan Islam, karya Endang Saefuddin Anshari.
Karena tertarik dengan buku wajib pelajaran agama Islam itu, saya berusaha meminjamnya dari teman saya itu. "Tapi, ini buku agama Islam," sahut teman saya itu. Kata "tapi" itu menyiratkan bahwa ia sebenarnya kaget juga. Lalu, saya jawab, "lya, saya tahu. Tapi saya ingin baca." Akhirnya teman itu memberi pinjam buku itu pada saya.
Namun sudah beberapa waktu buku itu hanya tergeletak di meja kamar tanpa sempat saya sentuh, sampai teguran nenek yang bernada curiga menyadarkan saya bahwa buku itu cukup riskan untuk kedamaian di rumah. "Apa-apaan kamu, baca buku seperti itu?" sergah nenek tajam. "Hati-hati, nanti kamu masuk Islam," lanjutnya.
Ketajaman pertanyaan nenek itu dapat saya mengerti. Tetapi, ketika itu, saya hanya tersenyum saja dan saya tegaskan kepada nenek bahwa saya cuma ingin tahu. Saya sendiri telah mendengar dan berusaha menghayati trauma keluarga saya terhadap orang-orang Islam yang begitu cepat merasa benar sendiri dan gampang mengkafirkan orang lain.
Sehabis teguran itu, buku Wawasan Islam itu justru membuat saya penasaran. Segera saya tinggalkan buku-buku pelajaran sekolah dan segera pula saya buka buku itu lembar demi lembar. Sampai pada pengertian "ketauhidan", saya tertegun. Saya merasa belum pernah menemukan kesimpulan yang begitu jernih tentang Tuhan. Dalam buku itu tertera bahwa Tuhan itu Mahaesa. Ia sama sekali otonom. Ia tidak beranak dan diperanakkan.
Hari itu, di pertengahan bulan Ramadhan, ketika menjelang bedug maghrib, di saat kaum muslimin menanti berbuka puasa, hati saya mulai terharu. Ada perasaan lain yang hadir dalam lubuk hati saya. Ini untuk pertama kalinya adzan maghrib datang menyentuh kalbu dan pendengaran saya dengan perasaan lain.
Keharuan ini terus menyelimuti hati saya. Sampai jauh malam, saya mulai menimbang-nimbang kemungkinan untuk masuk Islam. Malam itu, saya tidak dapat tidur. Namun, niat itu kembali terusik oleh kenyataan bahwa citra Islam yang sampai kepada saya adalah citra yang sama sekali tidak menarik simpati. Namun, gambaran itu, bagi saya sangat bergantung pada prasangka baik dan buruk. Untuk hal ini, saya berprasangka baik saja terhadap agama Islam. Justru dalam agama Islam, saya menemukan bahwa Allah itu Esa dan ada di mana-mana.
Kita bisa berdo'a langsung kepadaNya, tidak perlu perantara. Dalam agama yang saya anut, setiap berdo'a harus membayangkan wajah Yesus. Menurut ajaran Islam yang saya ketahui dari buku itu, Tuhan itu tidak bisa dijangkau ZatNya. Saya benar-benar yakin Allah telah menunjukkan jalan kepada saya. Rasanya saya tidak ingin menunda-nunda lagi. Saya ingin segera menjadi seorang muslimah.
Esok harinya, dengan tergesa-gesa, saya menuju tempat pertemuan di kawasan Sangkuriang. Dengan sikap santai, saya ungkapkan keinginan itu kepada teman-teman. Mereka kaget dan langsung menanyakan apakah saya sudah pikir-pikir. Saya jawab, "Ya," dengan yakin. Dan akhirnya, di depan mereka, untuk pertama kalinya saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.
Usai mengucapkan syahadat, mereka merangkul saya. Air mata segera berurai dari pipi-pipi kami. Esok harinya, dengan diantar oleh mereka, saya dibawa menghadap Pak Muhammad Sadali untuk dituntun kembali ber-syahadat. Pada 9 Juni 1985 atau 20 Ramadhan 1405 H, saya kembali mengucapkan syahadat di Masjid Salman ITB.
Keputusan saya ini ternyata langsung disambut kemarahan keluarga, terutama ayah. Keluarga kurang setuju dengan pindahnya saya ke agama Islam. Keluarga saya memutuskan untuk tidak menerima saya lagi. Saya ke luar dari rumah dan kemudian tinggal di rumah kost. Alhamdulillah, Allah selalu melindungi saya dengan berbagai kemudahan. Dari hasil menulis di berbagai media massa, saya dapat menyelesaikan sekolah dan melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.
Setelah beberapa lama menganut agama Islam, keluarga saya kembali membujuk saya untuk kembali ke rumah. Mereka mendesak saya untuk melakukan sidi, pembaptisan kembali seorang Kristen yang telah beranjak dewasa atas kemauan sendiri. Ajakan itu saya tolak.
Tahun 1989, saya mulai mengenakan busana muslimah (Jilbab). Dalam beragama Islam ini, saya banyak menemukan pengalaman rohani. Dalam pengalaman rohani ini, saya merasakan nikmatnya beragama Islam. Kemudian, saya menikah dan alhamdulillah kini telah dikaruniai anak. Saya berjanji akan mendidik anak-anak saya dengan pola pendidikan agama.
Selain aktif dalam kegiatan keagamaan, saya juga aktif dalam bidang kesenian, yang telah saya tekuni sejak kecil. Kini, saya aktif dalam grup sanggar seni yang bemuansa Islami yang bernama BarzaK. Untuk menambah wawasan dalam hal agama, saya dipercaya oleh sebuah televisi swasta, untuk menjadi pembawa acara, bertajuk Tasawuf.
Didikan ajaran agama yang saya peroleh sejak kecil itu, sedikit-banyaknya membuat saya kritis terhadap berbagai hal. Untuk sesuatu yang tidak saya ketahui, saya tak segan bertanya pada ibu. Namun, karena kedua orangtua saya termasuk orang sibuk, saya lebih dekat dengan nenek. Nenek mendidik saya dengan keras, tetapi sangat memanjakan. Termasuk dalam soal agama.
Menjelang usia remaja, ketika saya duduk di kelas dua SMA Taruna Bakti, saya mulai ragu dengan ajaran agama saya sendiri. Saya meragukan dan bingung pada konsep trinitas yang terdiri dari tiga oknum itu. Di samping itu, saya juga sering bertanya dalam hati, mengapa bila kita berdo'a harus melalui Yesus Kristus, tidak langsung ke Tuhan saja?
Untuk memperoleh jawaban itu, saya sering berdialog dengan pendeta. Tapi jawaban para pendeta itu tidak membuat saya paham dan mengerti. Terus terang, saya tidak puas. Karena jawaban mereka, menurut saya, terlalu mengada-ada, tidak sesuai logika.
Di tengah kegelisahan batin itu, saya terus mencari titik terang dengan mempelajari ajaran-ajaran Lao-Tze tentang Taoisme. Tujuan saya mempelajari ajaran ini, dengan harapan bisa menemukan Tuhan. Namun, kembali saya mengalami kegagalan. Di sana saya malah menemukan banyak kelemahan dalam ajaran Cina kuno itu.
Dalam masa pencarian itu, suatu siang menjelang bulan Ramadhan 1985, saya bertandang ke perpustakaan sekolah. Saat menikmati bacaan, tiba-tiba saya tertarik dengan buku yang sedang dipegang oleh seorang teman. Setelah berbasa-basi dengan teman itu, saya baru mengetahui bahwa buku yang dipegangnya itu adalah buku agama Islam yang berjudul, Wawasan Islam, karya Endang Saefuddin Anshari.
Karena tertarik dengan buku wajib pelajaran agama Islam itu, saya berusaha meminjamnya dari teman saya itu. "Tapi, ini buku agama Islam," sahut teman saya itu. Kata "tapi" itu menyiratkan bahwa ia sebenarnya kaget juga. Lalu, saya jawab, "lya, saya tahu. Tapi saya ingin baca." Akhirnya teman itu memberi pinjam buku itu pada saya.
Namun sudah beberapa waktu buku itu hanya tergeletak di meja kamar tanpa sempat saya sentuh, sampai teguran nenek yang bernada curiga menyadarkan saya bahwa buku itu cukup riskan untuk kedamaian di rumah. "Apa-apaan kamu, baca buku seperti itu?" sergah nenek tajam. "Hati-hati, nanti kamu masuk Islam," lanjutnya.
Ketajaman pertanyaan nenek itu dapat saya mengerti. Tetapi, ketika itu, saya hanya tersenyum saja dan saya tegaskan kepada nenek bahwa saya cuma ingin tahu. Saya sendiri telah mendengar dan berusaha menghayati trauma keluarga saya terhadap orang-orang Islam yang begitu cepat merasa benar sendiri dan gampang mengkafirkan orang lain.
Sehabis teguran itu, buku Wawasan Islam itu justru membuat saya penasaran. Segera saya tinggalkan buku-buku pelajaran sekolah dan segera pula saya buka buku itu lembar demi lembar. Sampai pada pengertian "ketauhidan", saya tertegun. Saya merasa belum pernah menemukan kesimpulan yang begitu jernih tentang Tuhan. Dalam buku itu tertera bahwa Tuhan itu Mahaesa. Ia sama sekali otonom. Ia tidak beranak dan diperanakkan.
Hari itu, di pertengahan bulan Ramadhan, ketika menjelang bedug maghrib, di saat kaum muslimin menanti berbuka puasa, hati saya mulai terharu. Ada perasaan lain yang hadir dalam lubuk hati saya. Ini untuk pertama kalinya adzan maghrib datang menyentuh kalbu dan pendengaran saya dengan perasaan lain.
Keharuan ini terus menyelimuti hati saya. Sampai jauh malam, saya mulai menimbang-nimbang kemungkinan untuk masuk Islam. Malam itu, saya tidak dapat tidur. Namun, niat itu kembali terusik oleh kenyataan bahwa citra Islam yang sampai kepada saya adalah citra yang sama sekali tidak menarik simpati. Namun, gambaran itu, bagi saya sangat bergantung pada prasangka baik dan buruk. Untuk hal ini, saya berprasangka baik saja terhadap agama Islam. Justru dalam agama Islam, saya menemukan bahwa Allah itu Esa dan ada di mana-mana.
Kita bisa berdo'a langsung kepadaNya, tidak perlu perantara. Dalam agama yang saya anut, setiap berdo'a harus membayangkan wajah Yesus. Menurut ajaran Islam yang saya ketahui dari buku itu, Tuhan itu tidak bisa dijangkau ZatNya. Saya benar-benar yakin Allah telah menunjukkan jalan kepada saya. Rasanya saya tidak ingin menunda-nunda lagi. Saya ingin segera menjadi seorang muslimah.
Esok harinya, dengan tergesa-gesa, saya menuju tempat pertemuan di kawasan Sangkuriang. Dengan sikap santai, saya ungkapkan keinginan itu kepada teman-teman. Mereka kaget dan langsung menanyakan apakah saya sudah pikir-pikir. Saya jawab, "Ya," dengan yakin. Dan akhirnya, di depan mereka, untuk pertama kalinya saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.
Usai mengucapkan syahadat, mereka merangkul saya. Air mata segera berurai dari pipi-pipi kami. Esok harinya, dengan diantar oleh mereka, saya dibawa menghadap Pak Muhammad Sadali untuk dituntun kembali ber-syahadat. Pada 9 Juni 1985 atau 20 Ramadhan 1405 H, saya kembali mengucapkan syahadat di Masjid Salman ITB.
Keputusan saya ini ternyata langsung disambut kemarahan keluarga, terutama ayah. Keluarga kurang setuju dengan pindahnya saya ke agama Islam. Keluarga saya memutuskan untuk tidak menerima saya lagi. Saya ke luar dari rumah dan kemudian tinggal di rumah kost. Alhamdulillah, Allah selalu melindungi saya dengan berbagai kemudahan. Dari hasil menulis di berbagai media massa, saya dapat menyelesaikan sekolah dan melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.
Setelah beberapa lama menganut agama Islam, keluarga saya kembali membujuk saya untuk kembali ke rumah. Mereka mendesak saya untuk melakukan sidi, pembaptisan kembali seorang Kristen yang telah beranjak dewasa atas kemauan sendiri. Ajakan itu saya tolak.
Tahun 1989, saya mulai mengenakan busana muslimah (Jilbab). Dalam beragama Islam ini, saya banyak menemukan pengalaman rohani. Dalam pengalaman rohani ini, saya merasakan nikmatnya beragama Islam. Kemudian, saya menikah dan alhamdulillah kini telah dikaruniai anak. Saya berjanji akan mendidik anak-anak saya dengan pola pendidikan agama.
Selain aktif dalam kegiatan keagamaan, saya juga aktif dalam bidang kesenian, yang telah saya tekuni sejak kecil. Kini, saya aktif dalam grup sanggar seni yang bemuansa Islami yang bernama BarzaK. Untuk menambah wawasan dalam hal agama, saya dipercaya oleh sebuah televisi swasta, untuk menjadi pembawa acara, bertajuk Tasawuf.
Penulis : Indra Widjaja